Kamis, 17 Mei 2012

"Mahanyari", Pesta Panen Suku Dayak Meratus
 
ILUSTRASI
HEADLINE NEWS, BANJARMASIN--"Mahanyari" adalah pesta panen padi bagi masyarakat Dayak Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu Sungai Tengah (HST), Kalsel, kata peneliti dalam Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012, Koordinator Wilayah 08 HST, Dr.Ir Abdul Haris Mustari.
Mahanyari merupakan bentuk ungkapan rasa syukur kepada Tuhan  atas panen dan berkah yang diberikan, kata Haris Mustari yang juga dosen Fakultas Kehutanan ITB, Selasa.
Melalui emailnya, ia menyebutkan, secara harfiah, Mahanyari (hanyar baru) artinya memulai panen padi pada tahun itu. Padi sangat dihargai keberadaannya oleh Dayak Meratus, sehingga ketika menanam dan memanen dilakukan acara adat atau ritual, katanya. "Acara itu dilakukan baik secara berkelompok maupun secara idividual oleh setiap keluarga," katanya.
Mahanyari yang dilakukan secara berkelompok dan dilakukan di Balai Adat disebut Aruh, kata Mustari.
Acara Mahanyari disediakan berbagai bahan sesajin yang akan dibawa ke pehumaan di Tihang Bekambang (tiang bambu kuning yang dihiasi bunga dan dadaunan) yang telah disiapkan.
Salah satu alat dalam acara tersebut disebut "Tihang Bakambang" terdiri dari tiang berupa bambu kuning, bagian paling atas melambangkan huruf atau kepala manusia yang disebut songkol.
Di bawah songkol terdapat daun sejenis palem yang disebut daun Risi dan ditambah kembang merah (habang).
Pada bagian tengah berupa papan bundar berdiameter 70 cm tempat menyimpan berbagai sesajian disebut "Dulang Campan" yang melambangkan bumi.
Sesajian disimpan di atas Dulang Campan terdiri dari darah ayam di tempurung kelapa, wajit, minyak kelapa, dodol ketan, darah ayam, air kunyit yang diletakkan di Campan serta gulungan daun teureup (sukun hutan) yang didalamnya terdapat daun mada, daun risi, buah merah/hiba hibak, daun ribu ribu, daun binturung, daun buluh, daun sirih benaik, daun singgae singgae.
Belian (dukun) memulainya dengan membaca mantra yang pada dasarnya adalah doa dan pemujaan kepada Tuhan atas berkah panen padi yang diberikan.
Ayam dipotong di bawah Dulang Campan. Ayam dipersembahkan kepada Tuhan YMK dimana darahnya dikucurkan dibawah Tihang Bekambang di tanah dan di tiang bambu kuning.
Selanjutnya ayam yang telah dipotong itu dibawa ke pondok untuk dimasak dan dimakan bersama. Setelah itu, Belian membawa berbagai bahan sesajian dan gulungan daun ke pondok/rumah dan disimpan di dekat lumbung padi.
Sesajin diletakkan di dekat lumbung padi di rumah/pondok. Selanjutnya para tetua kampung dan Belian membaca mantra-mantra yang isinya adalah rasa syukur dan permohonan keselamatan pada Tuhan YMK atas berkah dan panen padi yang melimpah dan dapat dimakan oleh anggota keluarga dengan selamat, demikian Mustari.

Rabu, 16 Mei 2012

 Kirab "Bedol Projo" Warnai HUT Sleman
 
 Bedol Projo
SLEMAN --Peringatan Hari Jadi ke-96 Kabupaten Sleman dimeriahkan dengan Kirab "Bedol Projo" yang mengisahkan prosesi perpindahan pusat Pemerintahan Kabupaten Sleman dari kompleks Pesanggrahan Ambarrukmo ke Beran Tridadi Sleman, Selasa.

Prosesi Kirab Bedol Projo" tersebut ditandai penyerahan peti yang berisi dokumen dari Pemerintah Kecamatan Depok kepada Bregada Parajurit untuk dikirab ke Beran setelah sebelumnya dilakukan kenduri dan doa bersama.

Bregada dari Ketingan, Kecamatan Mlati melambangkan berdirinya Kabupaten Sleman 15 Mei 1916, yaitu ada 15 bregada sebagai tanggal, 5 bregada sebagai bulan, 19 bregada dan 16 bregada sebagai tahun lahirnya.
Kepala Seksi Sejarah Nilai dan Tradisi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Sleman Anas Mubakir mengatakan kirab "Bedol Projo" ini dilaksanakan setiap peringatan Hari Jadi Kabupaten Sleman yakni pada 15 Mei.

"Acara budaya ini untuk menandai perpindahan pemerintahan Kabupaten Sleman dari kompleks Pesanggrahan Ambarukmo ke Beran Tridadi Sleman. Awalnya pusat Pemerintahan Kabupaten Sleman berada di Pasenggrahan Ambarrukmo. Namun mulai 1964 pusat pemerintah pindah ke Beran Tridadi Sleman," katanya.
Menurut dia, Pemerintahan Kabupaten Sleman di Pasangrahan Ambarrukmo mulai 1947 hingga 1964. "Selama itu ada lima bupati yang menjabat yakni KRT Pringgodiningratan (1945-1947), KRT Projodiningratan (1947-1950), KRT Diponingratan (1955-1959) dan KRT Murdodiningrat (1959-1974)," katanya.

Ia mengatakan, sebelum 1947 Kabupaten Sleman masih kawedanan, yaitu masih ada Sleman timur, tengah dan Barat dan sejak 1947 dijadikan satu. "Pusat Pemerintahan Kabupaten Sleman saat itu di Pasanggrahan Ambarrukmo," katanya.

Jumat, 11 Mei 2012

 Masyarakat Batak Gelar "Pesta Bolon"
 
 Pesta Bolon
JAKARTA -- Komunitas masyarakat Batak marga Simbolon berupaya mempromosikan pelestarian budaya dan kekayaan adat Batak melalui "Pesta Bolon"  di Jakarta, 1-7 Juli 2014.
Menurut Ketua Umum masyarakat Batak marga Simbolon (Punguan Simbolon dohot Boruna Indonesia/PSBI) Effendi MS Simbolon di Jakarta, Kamis, acara budaya masyarakat Batak itu akan dimeriahkan pula dengan kehadiran sekitar 200-an seniman dan artis ibukota serta ribuan masyarakat Batak marga Simbolon yang ada di sekitar Jabodetabek.
"Pagelaran seni dan budaya batak itu akan melibatkan kalangan artis papan atas ibukota dalam Pesta Bolon itu. Bagi orang batak, prosesi ini merupakan perwujudan rasa syukur kami atas karunia Tuhan Yang Maha Kuasa," ujar Effendi yang juga politisi PDIP itu.
Dijelaskannya bahwa saat ini marga Simbolon yang tersebar di berbagai pelosok tanah air dan juga dunia telah berkembang pesat secara kuantitas hingga berjumlah lebih dari 70 ribu warga. "Demikian juga dari segi kualitas, juga telah terjadi peningkatan yang signifikan," ujarnya.
Perhelatan "Pesta Bolon" itu dimaksudkan pula sebagai wahana agar masyarakat Batak yang tersebar di berbagai daerah perantauan tetap mengenal akar budaya mereka. Karenanya "Pesta Bolon" itu juga akan mengundang perwakilan 100-an marga Batak lainnya untuk turut memeriahkan kegiatan.
Pada bagian lain, Effendi menuturkan, kegiatan ini juga untuk merangsang geliat wisata tanah Batak. Potensi kekayaan alam berupa keindahan alam dan budaya disana sangat luar biasa dan PSBI berupaya untuk turut mempromosikannya.
"Naif sekali jika semua itu dibiarkan dan harus diakui bahwa perhatian pemerintah kita sangat minim. Upaya yang dilakukan pemerintah selama ini hanya membikin katalog-katalog pariwisata saja, dan itu semua sangat memprihatinkan," katanya.
Padahal, ia menambahkan, seharusnya yang lebih signifikan dilakukan adalah menggugah semua lapisan masyarakat yang ada untuk bersama-sama mengangkat budaya dan potensi kekayaan wisata Indonesia.

Senin, 07 Mei 2012

Dayak Kapuas Lestarikan Budaya Do Dange Kanayan
 Do Dange Kanayan
PONTIANAK--Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu melestarikan budaya Do Dange Dayak Kanayan yang menjadi salah satu upacara adat masyarakat dayak Kanayan kabupaten tersebut dalam mensyukuri berkat dan rizki yang telah diberikan sang pencipta setiap tahunnya.
"Kami dari pemerintah daerah memberikan apresiasi kepada masyarakat yang masih mempertahankan serta menjunjung tinggi adat dan budaya. Pasalnya, bangsa yang besar selalu menjunjung tinggi adat dan budaya," kata Wakil Bupati Kapuas Hulu, Agus Mulyana, Minggu.
Menurut dia, sebagai masyarakat berbudaya tentu harus mempertahankan adat dan istiadat yang sudah dititipkan oleh para pendahulu.
Dia menjelaskan, Do Dange merupakan wujud syukur kepada pencipta, bahwa selama setahun bekerja diberikan berkat. Baik mereka yang berprofesi sebagai petani atau pun lainnya.
"Sebagai masyarakat adat, kita juga memberikan rasa syukur kepada tuhan. Acara seperti ini mesti dilestarikan," katanya.
Dalam kegiatan Do Dange itu, dikemukakannya, begitu banyak ritual adat yang dilakukan, di mana, dari setiap ritual yang dilakukan memiliki makna tersendiri.
"Kalau menyimak rangkaian ritualnya, kalau bisa kedepan disertai dengan penjelasan, karena tamu yang datang masih belum mengerti maknanya. Apalagi dlam waktu tidak lama lagi PLB Badau akan dibuka, sehingga mungkin saja banyak warga Malaysia atau Serawak pengen menonton acara-acara seperti ini," katanya.
Ke masa depannya, lanjut Agus, perlu dipikirkan membuat kalender khusus perayaan Do Dange itu sehingga setiap tahunnya dapat digilir pusat penyelenggaraannya.
Namun, ia menilai, acara semacam itu harus diselingi dengan pameran kerajinan, agar tamu-tamu bisa mencari oleh-oleh untuk dibawa pulang. Sehingga ini bisa menjadi masukan pendapatan bagi masyarakat.
"Kalau dilihat, pada upacara ini banyak dilakukan ibu-ibu yang sudah tua. Kedepannya perlu dipikirkan juga dilakukan remaja atau muda-muda, sehingga acara-acara seperti ini bisa diteruskan oleh generasi penerus," tuturnya.

Minggu, 06 Mei 2012

Kisah Dewa-dewi Sapi dan Juragan Sapudi
Ngetrain atau latihan sapi karapan di Desa Rosong, Kecamatan Nonggunong, Pulau Sapudi, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur, Jumat (30/3). Selain sebagai pusat pelatihan bibit sapi karapan, sejak zaman Belanda, Pulau Sapudi juga dikenal sebagai pulau tempat pemurnian sapi khas Madura. Total populasi sapi di daerah yang merupakan pemasok utama sapi karapan di Pulau Madura itu saat ini mencapai 39.977 sapi.

HEADLINE NEWS - Warga Madura menyebutnya Sapudi, diambil dari nama Adipoday, putra tertua Panembahan Balinge, penguasa pulau itu. Namun, masyarakat Jawa menyebut Sapudi akronim dari sapi ten pundi-pundi atau sapi di mana-mana.
Pulau yang terletak di timur Madura itu menjadi sentra pemasok sapi ras Madura terbesar di Nusantara. Meneguhkan kisah dewa dan dewi sapi yang akhirnya memunculkan para juragan baru dari Sapudi.
Di pulau yang hanya seluas 35 kilometer persegi itu, sapi memang ada di mana-mana. Kadang melintas di jalan-jalan desa, memenuhi lapangan karapan, hingga ikut antre tuannya menyeberang di pelabuhan.
Populasi ternak di Sapudi hampir tak pernah menyusut meski terus diperdagangkan ke sejumlah pulau. Jumlahnya berdasarkan data sensus ternak tahun 2011 sekitar 39.977 sapi atau mendekati jumlah warganya yang sebanyak 50.996 orang.
Konon, dewa dan dewi sapilah yang menjaga populasi ternak sapi di Sapudi. ”Kedua-duanya adalah hewan kesayangan Panembahan Balinge, bangsawan yang pertama kali menempati Pulau Sapudi pada abad ke-10. Legenda itu masih dipercaya warga,” kata Taha (76), sesepuh warga Sapudi, pada suatu sore, akhir Maret lalu.
Sapi-sapi milik Adipati itu istimewa: kokoh dan elok. Karena itulah, Balinge menjadikan sebagai hewan kesayangan. Dari sepasang sapi itu, sapi-sapi Sapudi berkembang biak. Keturunannya mewarisi kekokohan dan keelokan induknya. Mereka terus beranak pinak hingga akhirnya populasinya membesar dan menyebar di Pulau Sapudi.
Namun, di balik kisah dewa dan dewi sapi, ternak di Sapudi berkembang karena kearifan masyarakat sekitar. Di pulau ini, warga hampir tidak pernah melepas sapi induk untuk diperdagangkan. Panjito, peternak sapi, misalnya, tetap memelihara Putre Koneng, sapi betina besar yang ia rawat sejak kecil. Panjito yang juga penjaga situs Dewi Sapi di Sapudi seolah mengulang perilaku sang bangsawan Balinge yang sayang kepada ternaknya.
Di Sapudi, warga sangat jarang menyembelih sapi. Menurut Dede Iswahyudi, Ketua Paguyuban Peternak Sapi Dharma Maesa di Sapudi, profesi jagal bahkan nyaris tak ada.
Bagi peternak sapi, membawa sapi ke tukang jagal adalah pilihan terakhir. Warga Sapudi lebih memilih membeli rumput dengan harga Rp 50.000 dan puasa asal sapinya bisa makan.
Warga Sapudi juga melarang sapi dari ras lain masuk ke Sapudi. M Hasan, yang juga juragan sapi, mengatakan, sapi dari ras lain bisa mengubah keturunan asli dewi sapi. Kearifan lokal inilah yang turut menjaga kemurnian genetik sapi ras Madura, selain dari aturan pelarangan masuknya sapi ras lain yang tertera di staatsblad tahun 1934 hingga kini (baca buku Sapi Madura sebagai Ternak Kerja, Potong, Karapan dan Sonok, Gunawan MS, 1993).
Madura dalam Sapudi
Mayoritas warga Sapudi memang pencinta sapi, seperti suku Madura umumnya. Ditelisik dari sejarah, warga Sapudi punya keterkaitan erat dengan Kerajaan Sumenep. Putra sulung dari Panembahan Balinge, yakni Adipoday (Sapudi), adalah ayah dari Joko Tole, penguasa Sumenep (baca Babad Sumenep, Raden Werdisastra, 1914).
Tidak heran jika dalam hal memperlakukan sapi, warga Sapudi berperilaku sama dengan warga Madura umumnya. Mereka menganggap sapi sebagai barang yang sangat berharga dari sisi ekonomi dan sosial.
Eratnya hubungan warga Madura dengan ternak sapi, menurut budayawan dari Sumenep, Edhi Setyawan, tidak lepas dari budaya agraris di masyarakat Madura. Sapi menjadi terlalu berharga untuk disembelih karena memudahkan kerja petani, bernilai investasi tinggi, dan bisa menaikkan status pemilik (baca Garam, Kekerasan, dan Aduan Sapi, Huub De Jonge, 2012).
Dari sapi, roda ekonomi warga Sapudi turut berputar. Meski hanya pulau kecil, Sapudi menjadi pusat perdagangan sapi teramai di Madura. Sekitar 4.000 sapi bibit dikapalkan ke pulau lain per tahun. Pulau ini selalu disinggahi saudagar dari berbagai penjuru tempat untuk memburu sapi pilihan.
Gambaran ramainya pasar sapi terlihat setiap kali pasaran sapi pada Rabu. Hasan mengatakan, para saudagar akan datang berduyun-duyun menyeberangi Selat Madura untuk membeli sapi di Pasar Ternak Gayam.
Dari perputaran ekonomi itulah muncul para juragan sapi. Mereka menjadi juragan setelah berhasil menernakkan sapi. Mereka juga mendapatkan untung besar dari hasil mencetak sapi karapan yang berharga tinggi.
Sapi tidak hanya menjadi dagangan bagi warga Sapudi, tetapi juga menjadi kesenangan, gaya hidup, bahkan status sosial. Pamor dan status sosial warga bisa meroket karena sapi yang mereka miliki.
Di Sapudi, orang kaya dilihat dari rumahnya yang bagus dan jumlah ternak sapi. Mobil, baju bermerek, ataupun gadget canggih hanya nomor kesekian. Toh, di Sapudi, jalan kampung masih sempit dan belum mulus. Sinyal telepon ada, tetapi miskin sinyal pengiriman data.
Juragan yang punya ternak banyak pun akan dihormati warga karena mereka turut mengangkat perekonomian warga yang tak mampu dengan memberikan pekerjaan sebagai pemelihara sapi.
Dewa dan dewi sapi di Sapudi mungkin hanya mitos, tetapi legendanya telah memberi warna kehidupan yang kaya kepada warga Sapudi, Madura, bahkan Nusantara.

Rabu, 02 Mei 2012

Landasan Sosio Kultural pada Subak
 ILUSTRASI
DENPASAR--Guru Besar Universitas Udayana I Wayan Windia mengemukakan, sistem pertanian tradisional "subak" yang diterapkan petani Bali secara turun temurun berlandaskan kepada kondisi sosiokultural setempat.
"Selain mengatur tata pengelolaan air irigasi secara adil dan merata juga mengandung unsur upaya melestarikan seni budaya Bali yang terkandung dalam aktivitas mulai dari penyiapkan lahan hingga memetik hasil panen," kata Profesor Windia yang juga Ketua Grup Riset Sistem Subak Unud itu di Denpasar, Rabu.
Ia mengatakan, pengelolaan subak memiliki keistimewaan karena berazaskan konsep "Tri Hita Karana" yakni hubungan yang serasi dan harmonis sesama petani anggota subak, petani dengan lingkungannya, dan petani dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Peran dan fungsi subak yang ganda itu, katanya, menjadikan Bali memiliki kekayaan alam, pemandangan yang indah, dan kehidupan religius yang kental, di samping keberadaan desa adat (pekraman) yang kokoh dan eksis.
Semua itu, katanya, mampu membentuk karakteristik sosial budaya masyarakat Bali yang khas sehingga mampu menjadi salah satu daya tarik wisatawan dalam dan luar negeri.
Namun, katanya, di balik perkembangan pesat sektor pariwisata yang mampu menjanjikan peningkatan taraf hidup masyarakat setempat, menjadikan minat generasi muda menggeluti sektor pertanian menurun.
Ia menjelaskan, pariwisata menjanjikan banyak kesempatan dibandingkan dengan pertanian.
Namun, katanya, di sisi lain hal itu membawa dampak negatif berupa lahan pertanian semakin menyempit akibat alih fungsi lahan untuk berbagai kepentingan pembangunan. Alih fungsi lahan pertanian setiap tahun, katanya, antara 750 hektare hingga 1.000 hektare.
Bahkan, katanya, beberapa subak di Kota Denpasar sirna. Subak di wilayah Kota Denpasar selama kurun waktu 10 tahun terakhir berkurang 50,35 persen. Ia menjelaskan, lahan sawah pertanian yang beririgasi secara teratur berkurang dari 5.753,43 hektare pada 1993 menjadi 2.856 hektare pada 2003. "Dan sekarang diperkirakan semakin menyempit lagi," katanya.
Lahan pertanian yang beralih fungsi itu, katanya, ancaman dan tantangan terhadap eksistensi subak. "Akibat perkembangan pembangunan, khususnya dalam sektor pariwisata di Bali," kata Windia.

Selasa, 01 Mei 2012

"Seba Baduy", Ritual yang Dipertahankan
Bupati Lebak Mulyadi Jayabaya (kiri) tukar-menukar bingkisan dengan perwakilan warga Baduy, Jaro Dainah (dua dari kiri) dan Saidi Putra, saat Seba Baduy di Pendopo Kabupaten Lebak di Rangkasbitung, Banten, Jumat (27/4). Upacara adat yang digunakan sebagai ajang silaturahim antara warga Baduy dan pimpinan kabupaten itu diikuti oleh 1.438 warga.

Suku Baduy yang tinggal di pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, sampai sekarang masih mempertahankan "ritual seba" dan telah dijalankan secara turun-temurun.
Suku yang masih mempertahankan kehidupan tradisional tersebut, setiap tahun melaksanakan ritual itu, yang diawali di Kebupaten Lebak dan dilanjutukan ke Provinsi Banten.
Tahun ini pun, suku tersebut melaksanakan ritual rutin tersebut. Pada Jumat (27/4) malam. sekitar 1.350 warga Baduy, dengan mengenakan pakaian serba hitam, memenuhi Pendopo Kabupaten Lebak untuk mengikuti seba.
Kepala Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak Daenah menjelaskan, masyarakat Baduy sudah tradisi setiap tahun merayakan seba untuk silatuhrahim dengan kepala daerah yakni Bupati Lebak.
"Perayaan seba tersebut dilaksanakan di Pendopo Kabupaten Lebak dan dihadiri Kepala Daerah dan pejabat Muspida setempat," katanya.
Seba Baduy merupakan tradisi dari peninggalan nenek moyang yang  bertujuan menjalin silatuhrahim dengan "Bapak Gede" (kepala pemerintah).
Perayaan seba setelah menjalani ritual kawalu selama tiga bulan dan kawasan Baduy Dalam yang tersebar di tiga kampung, yakni Cibeo, Cikeusik dan Cikawartana tertutup bagi wisatawan. "Kami berharap dengan perayaan seba itu dapat menyejahterakan masyarakat Baduy," ujarnya.
Menurut dia, bagi warga Baduy Dalam mereka berangkat dari kampungnya tidak menggunakan kendaraan tetapi berjalan kaki sepanjang 40 kilometer menuju Rangkasbitung.
Masyarakat Baduy datang ke Pendopo Kabupaten Lebak membawa berbagai hasil bumi seperti pisang, padi, buah-buahan serta tanaman lainnya untuk dipersembahkan kepada Bupati Lebak Mulyadi Jayabaya.
Keesokan harinya, Sabtu (28/4), sekitar  1.388 warga baduy dalam dan baduy luar mendatangi kantor Gubernur Banten, sebagai rangkaian dari perayaan seba.
Sejak pagi, warga baduy luar dan dalam tersebut mulai memadati halam kantor Gubernur Banten di Jalan Letjen Kyai Sjam’un Kota Serang. Sementara acara "seba baduy" tersebut diselelnggarakan pada Sabtu malam di depan kantor Gubernur Banten.
Ketua adat baduy dalam, Mursyid mengatakan, kegiatan ritual tahunan warga baduy tersebut dimaksudkan sebagai bentuk rasa syukur dan menjalin silaturahim kepada pemerintah Provinsi Banten, setelah warga suku pedalaman di Banten Selatan tersebut melaksanakan panen hasil pertanian.
"Intinya kami menyampaikan rasa syukur dan terima kasih kepada pemerintah. Kami juga berpesan agar pemerintah bisa melindungi kami dan hutan yang ada di daerah kami," kata Mursyid atau biasa dipanggil ayah Mursyid.
Sebelum melaksanakan seba atau persembahan di pemerintahan Provinsi Banten, warga baduy luar dan baduy dalam, juga melaksanakan kegiatan serupa di kantor Bupati Lebak pada Jumat malam.
Bagi warga baduy dalam dengan pakaian serba putih, untuk mengikuti kegiatan tersebut harus menempuh perjalanan selama dua hari dari perkampungannya di Cibeo Desa Kanekes Kecamatan Leuwi Damar Lebak.
Sedangkan bagi warga suku baduy luar dengan pakaian khas serba hitam. Mereka biasanya berangkat dari kampungnya dengan menumpang kendaraan dari Terminal Ciboleger menuju kantor Bupati Lebak dan dilanjutkan ke Pendopo Gubernur Banten.
Lestarikan
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah mengharapkan, agar ritual seba tetap dilestarikan, karena selama merupakan bagian kebudayaan, melalui ritual  tersebut juga warga pedalaman tetep bisa memelihara lingkungan.
"Dalam seba masyarakat Baduy membawa aneka jenis hasil pertanian dan perkebunan, dan ini berarti mereka tetap melakukan trandisi bertani dan berkebun, maka dengan sendirinya lingkungan terjaga," katanya.
Berbagai literatur menyebutkan, seba merupakan sebuah tradisi adat yang harus dilakukan setiap tahunnya bagi warga Baduy sebagai wujud nyata tanda kesetiaan dan dan ketaatan kepada Pemerintah Republik Indonesia, yang dilaksanakan kepada penguasa pemerintahan, dimulai dari Bupati Lebak dan Gubernur Banten.
Seba itu sendiri dapat diartikan sebagai kunjungan resmi yang merupakan peristiwa dalam untaian adat masyarakat Baduy yang dilakukan seusai Kawalu dengan rangkaian acara secara terperinci serta persiapan yang matang.
Seba, juga  harus  berpedoman pada peraturan adat dan orang yang berperan dalam melakukan Seba adalah kepercayaan pu’un, atau pemimpin Suku Badyu, atas nama warganya memberikan laporan kepada pemerintah sekaligus menjembatani komunikasi.
Misinya membawa amanat pu’un, memberikan laporan selama satu tahun didaerahnya, menyampaikan harapan dan menyerahkan hasil bumi dari tanaman ladang yang digarap.
Rombongan yang berangkat tidak ditentukan, tetapi harus jaro sebagai orang kedua pu’un,  tokoh adat kajeroan, tokoh adat panamping, juru baasa, tokoh pemuda dengan maksud agar mengetahui tata caranya dan bisa menjadi generasi penerus dalam melanjutkan tradisi lelehur.
Dalam pelaksanaan seba, kelompok kaum sepuh berperan sebagai pengamat jalannya upacara dan pada saat sedang berlangsung tidak berbasa-basi dalam penyampaian kata-kata tetapi tegas, terbuka, jujur, tepat dan jelas dari permasalahan daerahnya tidak menutupi yang buruk dan tidak memamerkan yang baik.
Sedangkan kelompok pemuda, mempunyai kewajiban sebagai pengemban amanat pusaka untuk tidak menyimpang dari tujuan dan kelompok tokoh adat mengatur tata cara yang bertumpu kepada pakem, keharusan, larangan dan pantangan sejak berangkat dari daerahnya sampai ke tujuan.
Seba, juga merupakan  forum silaturahmi antara warga Baduy dengan pemerintah yang dipimpin Jaro Tanggung Duabelas, sekaligus melaporkan situasi social kemasyarakatan, keamanan dan hasil pertanian serta keadaan lain yang terjadi selama setahun terakhir.
Dalam pelaksanaan seba, dapat dibedakan beberapa kategori, yakni seba gede (seba besar) yaitu apabila hasil panen yang diperoleh selama satu tahun tersebut sangat memuaskan, maka barang bawaan seba dilakukan secara lengkap selain hasil¿hasil pertanian, gula, pisang juga termasuk pelengkap dapur.
Kemudian seba leutik (seba kecil) yakni apabila panen yang dihasilkan kurang memuaskan pelaksanaan seba cukup dengan menyerahkan hasil¿hasil pertanian tanpa dilengkapi dengan Perkara Olah dan peserta seba relatif lebih sedikit.